Monday 21 March 2011

Rukhshah dan ‘Azmah

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, hukum syara’ diturunkan oleh Allah sebagi Rahmat Allah bagi semua hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukallaf tanpa pengecualian.
Disamping itu, hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya, karena Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam batas kemampuannya.
Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum berbeda tingkatannya. Apa yang mungkin dilakukan orang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu dirasakannya sangat berat dan berada diluar kemampuannya. Karena itu dalam mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, Allah SWT mengecualikan pihak-pihak tertentu tersebut dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian itu dijelaskan sendiri oleh Allah dalam suatu petunjuk yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, terdapat hukum-hukum yang penerapannya sesuai dengan dalil semula dan hukum-hukum yang penerapannya berbeda dengan dalil semula.
Ditinjau dari segi atau tidaknya dengan dalil semula, hukum itu terbagi menjadi dua, yaitu : pertama ‘azimah dan kedua rukhshah. Keduanya akan dibahas dalam makalah ini












PEMBAHASAN

1. ‘Azimah
a. Pengertian
Secara etimologi., ‘azimah berarti tekad yang kuat. Secara terminologi, Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan Azimah adalah:
“Hukum yang disyariatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”
Atau
“Sesuatu yang disyariatkan pertama kalinya, dan perbuatan azmah ini tidak mempunyai penghalang”
Atau
“Sesuatau hukum yang dtuntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan dengan suatu golongan yang diistimewakan, atau dengan suatu keadaan yang dikecualikan”
Atau
“Hukum yang disyariatkan Allah sejak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”
Atau
“Hukum yang telah disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula”
Atau
“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum”


Atau
“Sesuatu hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan terhadap suatu golongan yang diistimewakan atau suatu keadaan yang dkecualikan”
Atau
“Apa yang disyariatkan Allah, berasal dari hukum-hukum umum yang tidak dikhususkan dngan hal selain dari hal, dan tidak pula mukallaf dengan selain dari mukallaf”
Jadi berarti ‘azimah itu hukum yang ditetapkan oleh Allah semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan kepada setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal mukallaf dipandang mampu melakukannya.
Contoh hukum azimah ini seperti puasa dan haji ditetapkan semenjak semula tentang wajibnya, artinya tidak didahului oleh ketentuan yang mencabutnya. Dan kalau ada yang mencabutnya maka hukum yang terdahulu dinamakan mansukh (dicabut) dan hukum yang baru yang mencabutnya disebut nasikh.
b. Macam-macam
Menurut Jumhur Ulama, yang termasuk azimah adalah kelima hukum taklifi (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), karena kelima hukum ini disyariatkan bagi umat islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang termasuk azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh, dan mubah saja. Ada pula yang membatasi hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan Haram saja.
Para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa ‘azimah ada empat macam:
1. Hukum yang disyar’atkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seluruhnya
2. Hukum yang disyari’atkan karena adanya sesuatu sebab yang muncul
3. Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal (nasikkh) bagi hukum sebelumnya, sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada
4. Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum.

2. Rukhshah
a. Pengertian
Secara Etimologi, Rukhshah berarti Kemudahan, Kelapangan, dan Kemurahan. Sedangkan kata rukhshah menurut terminologi adalah
“Sesuatu hukum yang diatur syara’ karena ada satu udzur yang berat dan menyukarkan”
Atau
“Hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”
Atau
“Sesuatu yang disyariatkan karena adanya yang meembolehkan untuk berbeda dengan hukum asal (‘azimah)”
Atau
“Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur”
Atau
“Sesuatu hukum yang diatur oleh syara’ karena ada satu ke-udzuran yang berat, yang menyukarkan”

Atau
“Apa yang disyariatkan Allah dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan. Atau apa yang disyariatkan bagi udzur yang sulit dalam hal-hal tertentu. Atau memperbolehkan apa yang dilarang dengan dalil di samping menegakkan dalil larangnan”
Imam al-Baidhawi merumuskannya dengan
“ Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya udzur”
Rumusan ini menunjukkan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku apabila ada dalil yang menunjukkan dan ada udzur yang menyebabkannya. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya kemudian setelah ‘azimah.
Hukum rukhshah mempunyai beberapa sebab yang banyak, diantaranya karena darurat, seperti kelaparan yang dapat menimbulkan kematian, dimana tidak menemukan makanan kecuali bangkai, maka saat itu seseorang boleh memakannya bahkan wajib memakannya. Begitu juga untuk menolak kesempitan dan kesulitan, seperti boleh berbuka puasa Ramadhan bagi yang sedang musafir dan dokter boleh melihat aurat lawan jenis sekedar yang diperlukan untuk pengobatan.
b. Macam-macam
Pada dasarnya rukhshah itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada mukallaf dalam suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukallaf tersebut. Hukum keringanan ini menyalahi hukum asalnya. Macam-macam rukhshah atau keringanan dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Rukhshah dilihat dari segi bentuk asalnya:
a. Rukhshah memperbuat adalah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘Azimah-nya Dalam keadaan darurat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh hukumnya. Umpamanya memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
b. Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘Azimah-nya adalah wajib atau sunah. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukan akan membahayakan terhadap dirinya, maka diperbolehkan baginya untuk meniggalkannya. Misalnya diperbolehkannya meninggalkan puasa ramadhan bagi orang sakit, atau dalam perjalanan.
c. Rukhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum umat Islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Muhammad, Umpamanya membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk bertobat; memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya yang berlaku dalam syariat Nabi Musa.
d. Rukhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Umpamanya jual-beli salam yang menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada ditangan. Bentuk muamalah ini di-rukhshsah-kan karena kalau tidak, akan menyulitkan dalam kehidupan umat manusia.
2. Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan
a. Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat Jumat, Haji, Umrah dalam keadaan udzur
b. Keringanan dalam bentuk mengutrangi kewaijiban, seperti meng-qashar shalat empat rokaat menjadi dua rokaat bagi orang yang dalam perjalanan.
c. Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti mengganti wudlu dengan tayamum karena tidak ada air.
d. Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat Dhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan.
e. Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti membayar zakat fitrah sejak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan.
f. Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut sholat khauf.
g. Keringanan dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.
3. Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal setelah berlaku padanya rukhshah: apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Dalam hal ini ulama’ Hanafiyah membagi rukhshah menjadi dua, yaitu rukhshah Tarfih dan rukhshah Isqath
a. Rukhshah Tarfih adalah rukhshah yang meringankan dari pelaksanaan hukum ‘azimah berkut dalilnya tetap berlaku. Hanya pada waktu itu mukallaf dibolehkan meninggalkan atau mengerjakannya sebagai keringanan baginya. Umpamanya mengucapkan ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum ‘azimah, dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa selama hatinya tetap dalam keimanan. Hal ini terdapat dalam Firman Allah dalam surat an-Nahl (16): 106 . yang Artinya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”
Walaupun ada ayat rukhshah, namun keharaman mengucapkan kalimat yang mengkafrkan itu tetap berlaku; hanya dalam keadaan terpaksa, pelakunya tidak mendapat kemarahan dan azab dari Allah SWT.
b. Rukhshah Isqath yaitu rukhshah yang menggugurkan hukum ’azimah terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. Umpamanya meng-qashar sholat dalam perjalanan berdasarkan Firman Allah dalam surat an-Nisa’:101 yang artinya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Bagi orang yang dalam perjalanan berlaku qashar sholat dan hilanglah atas mereka kewajiban menyempurnakan bilangan sholat yang empat rokaat. Bagi mereka ditetapkan sholat itu sebanyak dua rokaat.

3. Hukum Menggunakan Rukhshah
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ’azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh” , baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang maupun meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan hukum rukhshah bagi orang yang telah memenuuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Dengan demikian, menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi orang yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan rukhshah akan mencelakakan dirnya. Hukum rukhshah ada pula yang sunah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibadah seperti jual-beli salam.

4. Memilih Antara ‘Azimah dan Rukhshah
Tujuan rukhshah adalah memberikan keringanan dan menolak kesulitan. Kesulitan ini ada dua macam: ada yang tidak dapat dipikul manusia dan ada juga yang mampu dipikul manusia.
Rukhshah yang tidak dapat dipikul manusia umpamanya seseorang yang dalam keadaan kelaparan dan tidak menemukan makanan yang halal, maka dibolehkan memakan makanan yang haram. Kebolehan memakan makanan yang haram karena darurat, dan kalau tidak makan akan mati maka wajib mempergunakan rukhshah dan mennggalkan azmah.
Namun kalau rasa berat yang ditemui dalam melaksanakan ‘azimah dan rasa berat ini dapat datasi umpamanya seseorang berpuasa Ramadhan dalam perjalanan dan merasa sanggup melaksanakan hukum ‘azimahnya, maka dalam hal ini diperbolehkan memilih antara melaksanakan ‘azimah atau menggunakan rukhshah.
Dalam menentukan pilihan yang paling afdhal antara rukhshah dan ‘azimah terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih ‘azimah, sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa yang palng afdhal adalah memilh rukhshah.

5. Hukum Syar’i
a. Pengertian
Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau meniadakan sesuatu dari padanya. Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh ialah:
“Khitaab Allah (atau sabda Nab) yang mengenai segala pekerjaan mukallaf baik titah itu mengandung tuntutan (suruhan, larangan ataupun semata-mata menerangkan kebolehan) atau menjadikan suatu sebab atau syarat, atau penghalang terhadap sesuatu hukum.
b. Pembagian
Hukum itu ada tiga, yaitu:
a. Hukum Taklif
Titah-titah agama yang masuk kedalam bagian taklif itu ada empat macam, yaitu:
1). Ijab, Fardl (Mewajibkan, memfardlukan) yaitu:
Titah yang mengandung suruhan yang harus dikerjakan
2). Nadb (Menganjurkan supaya dikerjakan) yaitu:
Titah yang mengandung suruhan yang tidak harus dituruti, tidak harus ditunaikan
3). Tahrim (Mengharamkan), yaitu:
Titah yang mengandung larangan yang harus dijauhi.
4). Karahah (Membencikan) yaitu:
Titah yang mengandung larangan, tetapi tidak harus menjauhinya
b. Hukum Takhyiri
Hukum takhyiri adalah titah yang memberikan hak memilih.
Atau Ibahah yaitu titah-titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan perbuatan dan kebolehan kita meninggalkan atau tidak mengerjakannya.
c. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah Firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Hukum wadh’i dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Sebab
Secara bahasa, sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara istilah sebab adalah suatu sifat yang dijadikan syari’.
2) Syarat
Syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ tergantung kepadanya.
3) Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.




PENUTUP

Rukhshah dan ‘Azmah sebenarnya masuk kedalam bab hukum taklifi, karena bab ini memndahkan suatu hukum yang dilarang kepada yang dibolehkan atau yang diharuskan kepada yang dibolehkan kita tidak mengerjakannya dalam batas-batas dan tempo-tempo tertentu. Maka azimah sesuatu hukum yang diisyaratkan tanpa ini dan itu, sedangkan rukhshah adalah suatu hukum yang disyariatkan karena suatu sebab yang membolehkan berubahnya hukum asli. Tegasnya azimah merupakan hukum asli, sedangkan rukhshah adalah hukum yang mendatang yang menghalangi hukum asli.





Wallahu A’lam

1 comment:

Links

Al-Qur'an Widget by Blogger Tutorial Blog
Designed by Animart Powered by Blogger