Saturday 26 March 2011

MASHLAHATUL MURSALAH DAN ISTISHHAB

BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini dan lebih-lebih di masa-masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Untuk menyelesaikan segala problematika kehidupan yang begitu kompleks tidak cukup memutuskan suatu hukum hanya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Karena informasi dan hukum yang terkandung dalam keduanya bersifat umum. Oleh karena itu, dalam Ilmu Ushul Fiqh terdapat beberapa metode atau kaidah untuk menggali dan merealisasikan isi yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah untuk menetapkan hukum suatu masalah. Kaidah Ushuliyah tersebut antara lain adalah Mashlahatul Mursalah dan Istishhab.
Mashlahatul Mursalah lebih menekankan pada aspek kemanfaatan suatu hal dalam suatu masalah. Jadi metode ini melihat suatu hal yang akan dijadikan hukum berdasarkan segi kemanfaatan dan kemaslahatan umat. Sedangkan Istishhab adalah metode ijtihad dengan cara menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan. Untuk lebih jelasnya akan dibahas secara mendetail pada pembahasan makalah.

BAB II
PEMBAHASAN I
“MASHLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM”

A. Definisi Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Secara etimologi, kata al-mashlahah adalah seperti lafadh al-manfaat, baik artinya maupun wajannya. Dapat juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal dari kata al-mashalih. Pengarang kamus Lisan al-Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadharatan dan penyakit. Semua itu dapat dikatakan mashlahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluknya.
Menurut bahasa kata mursalah berarti lepas. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu mashlahah mursalah. Menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
Dengan demikian, al-mashalah dan al-mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-mashlahah al-mursalah. Tujuan utama al-mashlahah al-mursalah adalah kemashlahatan, yaitu memelihara dari kemdharatan dan menjaga kemanfaatan.
B. Macam-Macam Maslahat
1. Ditinjau dari segi Tingkatannya
a. Mashlahah Daruriyah, yaitu kemashlahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia.
b. Mashlahah Hajiyat, yaitu persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi.
c. Mashlahah Tahsiniyat/ Takmiliyat, yaitu mashlahat yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja.
2. Ditinjau dari segi Eksistensinya
Apabila mashlahat dilihat dari segi eksistensinya, para ulama Ushul Fiqih, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan membaginya kepada tiga macam, yaitu :
a. Al-Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.
b. Al-Mashlahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.
c. Al-Mashlahah al-Mursalah, dan mashlahat macam inilah yang dimaksud dalam pembahasan, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan diatas.
C. Istilah Lain Mashlahah Mursalah
Menurut para ulama ahli Ushul Fiqih, sebagian ulama menggunakan istilah al-mashlahah al-mursalah itu dengan istilah al-munasib al-mursal. Ada juga yang menggunakan term al-istishlah seperti al-Ghazali, dan adapula yang menggunakan istilah al-Istidlal al-mursal seperti ‘Izzudin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
a. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-mashlahah al-mursalah (Mashlahah yang terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk syariat Islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta kemashlahatan. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-Munasib al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus).
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu masalah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini diakui oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses ini disebut Istishla (menggali dan menetapkan suatu masalah).
D. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan Mashlahah Mursalah, yaitu :
a. Mashlahah itu adalah mashlahah hakikat, bukan mashlahah wahamiah.
b. Mashlahah tersebut adalah menyangkut kemashlahatan umum. Bukan kemashlahatan perorangan.
c. Mashlahah tersebut tidak boleh bertentangan bagi kemashlahatan hukum atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau Ijma’.
Menurut Badran, Imam Malik sebagai peletak batu pertama metode mashlahatul mursalah menetapkan tiga syarat untuk memegang mashlahah mursalah, yaitu :
a. Dalam memegang mashlahah mursalah harus meniadakan kesempitan yang lazim yang terjadi pada umat, sehingga hal itu bersifat mendesak untuk masyarakat.
b. Mashlahat tersebut harus rasional (ma’qulah), yang apabila dikemukakan kepada orang-orang berakal maka mereka akan menerimanya
c. Mashlahat tersebut jangan bertentangan dengan salah satu dari al-maqashid al-syari’ah.
Sedangkan al-Ghazali menetapkan tiga syarat, yaitu (1) kemaslahatannya pasti bukan dugaan saja, (2) kemaslahatannya bagi ummat, dan (3) tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan Sunnah.
E. Objek Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam al-Quran maupun Sunnah. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan dalam Ijma’ atau Qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
F. Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa mashlahatul mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah SAW.
Mereka berbeda pendapat dalam bidang Muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan antara lain :
a) Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemashlahatan umat manusia.
b) Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan.
Berbeda dengan itu, kalangan Malikiyah dan Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Diantara alasan-alasan yang mereka ajukan adalah :
a) Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Quran dan Sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu, segala yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, sah dijadikan hukum.
b) Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah maslahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya.
G. Relevansi Mashlahah Mursalah dengan Perkembangan Zaman dan IPTEK
Dewasa ini dan lebih-lebih di masa-masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama.
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau petunjuk syara’ untuk mendudukkan hukum dari kasus yang muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan metode Qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan padanannya di dalam al-Quran dan Sunnah atau Ijma’, sebab jarak waktunya sudah begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan Qiyas yang sulit terpenuhi.
Dalam kondisi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus yang secara rasional dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya, tetapi sulit menemukan dukungan hukumnya dari nash. Dalam upaya mencari solusi agar seluruh tindak-tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, mashlahah mursalah itu dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk mengeliminasi atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak hawa nafsu, maka dalam berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.


BAB III
PEMBAHASAN II
“ISTISHHAB SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM”
A. Definisi Istishhab
Istishhab menurut etimologi berasal dari kata Istishhaba dalam sighat Istif’ala yang bemakna “Istimroru al-Shahabah”. Kalau kata al-Shahabah diartikan dengan sahabat atau teman dan Istimroru diartikan selalu atau terus menerus, maka Istishhab secara lughawi artinya selalu menemani atau menyertai. Atau diartikan dengan pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyah, yaitu Menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya. Sedangkan menurut Asy-Syatibi, Istishhab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Istishhab adalah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa lalu.
B. Macam-macam Istishhab
1. Pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Istishhab terbagi atas tiga macam, yaitu :
a. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah. Secara bahasa, al-bara’ah adalah bersih, maksudnya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Al-ashliyah artinya menurut asalnya, maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Dengan demikian, al-bara’ah al-ashliyah adalah pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.
b. Istishhab al-Shifat. Artinya, mengukuhkan berlakunya suatu sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum atau sampai ditetapkannya hukum yang lama tidak berlaku lagi.
c. Istishhab hukm al-Ijma’. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.
2. Pendapat Muhammad al-Syaukani
Muhammad al-Syaukani membagi Istishhab ke dalam lima macam, yaitu :
a. Istishhab ma dalla al-‘aqlu wa al-syar’u ‘ala tsubutihi wa dawamihi. Artinya, sesuatu yang ditunjukkan oleh akal atau syara’ tentang tetap dan berlakunya suatu hukum sampai ada dalil yang menentukan ketentuan lain dari hukum tersebut.
b. Istishhab al-‘adam al-ashliy. Artinya, tetap memberlakukan keadaan tidak ada ketentuan hukum menurut asalnya. Istishhab ini sama dengan Istishhab al-bara’ah al-ashliyah yang dikemukakan Ibnu Qayyim.
c. Istishhab al-hukm al-‘aqliy. Artinya, selama tidak ada dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum, maka dikembalikan kepada penetapan berdasarkan akal.
d. Istishhab al-dalil ma’a ihtimal al-mu’aridh. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan sebuah dalil disamping ada kemungkinan dalil yang menyalahinya.
e. Istishhab al-hukm al-tsabit bil Ijma’. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan hukum Ijma’.
3. Pendapat Muhammad Abu Zahrah
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam Istishhab, yaitu :
a. Istishhab al-Ibahah al-ashliyah, yaitu Istishhab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Istishhab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Prinsip tersebut berdasarkan surat al-Baqarah ayat 29 :
    •   
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu......” (QS. Al-Baqarah : 29)
b. Istishhab al-bara’ah al-ashliyah, yaitu Istishhab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari hutang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c. Istishhab al-hukm yaitu Istishhab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
d. Istishhab al-wasf yaitu Istishhab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
C. Kaidah-kaidah dalam Istishhab
1. Al-ashl baqa’ ma ala ma kana, hattayusbita ma yughyyirah.
الا صل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya , pada dasarnya seluruh hukum yang sudah dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukan hukum itu tidak berlaku lagi.
2. Al-ashl fi al-asyya’a al-ibadah
الاصل فى الاشياء الاباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.
3. Al-yaqin la yuzal bil al-syak.

اليقين لايزال بالشك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan..
4. Al-ashl fi al-dzimmah al-baraah min al-takalif wa al-huquq
الاصل فى الذمة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggungjawab seseorang.
D. Kehujjahan Istishhab
Ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskannya, amtara lain :
1. Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), Istishhab tidak dapat dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
2. Menurut mayoritas Ulama Hanafiyah, Istishhab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3. Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah, dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.


BAB IV
PENUTUP
Mashalah mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Mashlahah terbagi menjadi dua yaitu ditinjau dari segi tingkatannya dan dari segi eksistensinya. Ada beberapa persyaratan dalam memfungsikan Mashlahah Mursalah, yaitu Mashlahah itu adalah mashlahah hakikat, Mashlahah tersebut adalah menyangkut kemashlahatan umum dan Mashlahah tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash atau Ijma’. Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan Mashalah mursalah jika digunakan untuk menetapkan hukum muamalat.
Istishhab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Istishhab menurut Muhammad Abu Zahrah terbagi dalam empat macam Istishhab, yaitu Istishhab al-Ibahah al-ashliyah, Istishhab al-bara’ah al-ashliyah, Istishhab al-hukm, Istishhab al-wasf. Mengenai kehujjahannya para ulama juga berbeda pendapat dalam hukum penggunaan Istishhab.
















DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Amzah.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1999. Ilmu Usul Fikih. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Rohayana, Ade Dedi .2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : Stain Press.

www.student.umm.ac.id/files

No comments:

Post a Comment

Links

Al-Qur'an Widget by Blogger Tutorial Blog
Designed by Animart Powered by Blogger