Monday 21 March 2011

Ibnu Maskawaih

BAB I
PENDAHULUAN

Ibnu Maskawaih adalah seorang filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya Ibnu Maskawh seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan.
Perkembangan ilmu Ibnu Maskawaih diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Pengetahuan Ibnu Maskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Ibnu Maskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejarahwan dan filosuf. Sebagai filosuf, Ibnu Maskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena dialah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.


















BAB II
PEMBAHASAN

1. Riwayat Hidup Ibnu Maskawaih
Nama Lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Ibnu Maskawaih dilahirkan di Ray (sekarang Teheran). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M. Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Margoliouth menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
2. Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat pendidikan Ibnu Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Ibnu Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Ibnu Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut lmu pada masanya. Pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an, dasar-dasar bahasa arab, tata bahasa arab (nahwu), dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata pelajaran dasar tersebut diberikan disurau-surau, dikalangan keluarga yang berada, guru didatangkan kerumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-amaknya, namun menurut dugaan, Ibnu Maskawaih tidak mengikuti les privat karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru. Perkembangan ilmu Ibnu Maskawaih diperoleh dengan jalan banyak membaca buku.



3. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
1. Metafisika
a. Bukti-bukti Adanya Tuhan Pencipta
Untuk membuktikan adanya Tuhan Pencipta, dari satu sisi dapat dikatakan mudah, tetapi dari segi yang lain dapat dikatakan sukar. Memubuktikan adanya Tuhan Pencipta adalah mudah, karena kebenaran ada-Nya telah terbukti pada drinya sendiri dengan amat jelas. Adapun segi kesukarannya ialah karena keterbatasan akal manusia.
Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa sebenarnya tentang adanya Tuhan Pencipta itu telah menjadi kesepakatan antara filosof sejak dulu kala. Ibnu Maskawaih berusaha membuktikan bahwa Tuhan Pencipta itu Esa, Azali (tanpa awal), dan bukan materi (jism). Tuhan dapat diketahui dengan cara menidakkan ( negatif), bukan cara positif. Pembuktian secara positif berarti pembuktian secara langsung, sedangkan pembuktian negatif adalah pembuktian secara tidak langsung dengan menolak suatu proposisi tentang Tuhan untuk menerima yang sebaliknya.
b. Jiwa (An-Nafs)
Jiwa menurut Ibnu Maskawaih adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu. Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa jiwa berasal dari limpahan akal aktif. Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indra.
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat, Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
a) An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk
b) An-Nafs al-sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
c) An-Nafs al-nathiqah (nafsu yang cerdas) yang baik
Tentang balasan di akherat, Ibnu Maskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagiaan dan kesengsaraan) di akherat. Karena, menurutnya kelezatan jasmaniah bukanlah merupakan kelezatan yang sebenarnya.
c. Kenabian (An-Nubuwwah)
Adapun masalah kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Ibnu Maskawaih dengan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan Filsuf, sekaligus memperkuat hubungan akal dengan wahyu.
Menurut Ibnu Maskawaih, Nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini juga diperoleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filosof mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah keatas, sedangkan nabi mendapatkan kebenaran tersebut dari atas kebawah.
Persamaan antara nabi dan filosof, bagi Ibnu Maskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.
d. Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih juga menganut paham Emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun emanasinya bertentangan dengan emanasi Al-Farabi. Menurutnya entitas pertama yang memancar dari Allah adalah akal aktif. Dari akal aktif ini timbullah jiwa, dan dengan perantara jiwa pula timbullah planet. Pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan didalam alam ini.
e. Teori Evolusi
Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa segala yang ada d alam mengalami proses evolusi, dilaluinya rentetan proses kejadian yang mata rantainya tidak terputus. Dikatakanya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinggi. Bermula dari jamad (benda mati), kemudian berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan, yang dalam evolusi berikutnya mengalami perkembangan menjadi hewan, dari tahapan hewan berevolusi menjadi manusia yang dipandang sebagai puncak perkembangan. Manusiapun pada gilirannya mengalami evolusi juga, yaitu terus berkembang dan meningkat kecerdasannya.
2. Dasar-dasar Etika
Sebagai Filosuf, Ibnu Maskawaih disebut Bapak Etika Islam, karena dialah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika
a. Pengertian Akhlak
Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak adalah suatu sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi menjadi 2: ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan kata lain manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik.
Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran islam. Al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
b. Keutamaan (Fadhilah)
Ibnu Maskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimyah (kebinatangan) yang mengejar kelezatan-kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpu pada kemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang segala sesuatu. Jika terjadi keselarasan dalam perimbangan posisi ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.
Menurut Ibnu Maskawh, jiwa memliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya marah, dan daya keingnan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat keutamaan dan kebajikan, yaitu hikmah, keberanian dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat ini berjalan serasi maka akan lahir sifat kebajikan yang ke empat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini adalah bodoh, penakut, rakus dan zalim.
c. Kebahagiaan (Sa’adah)
Menurut Ibnu Maskawaih, karena pada diri manusia terdapat dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat Plato dan pendapat Aristoteles. Menurut Plato kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan rohani. Hal ini baru saja diperoleh manusia apabila rohaninya telah berpisah dengan jasadnya. Dengan redaksi lain, selama rohaninya masih terikat kepada jasadnya, yang selalu mencari hikmah, kebahagiaan yang dimaksud tidak akan tercapai. Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan dapat dicapai dalam kehidupan didunia ini, namun kebahagiaan berbeda diantara manusia, seperti orang miskin kebahagiaannya adalah kekayaan, orang sakit kebahagiaannya adalah kesehatan, dan lainnya.


d. Cinta (Mahabbah)
Ibnu Maskawaih memberikan perhatian kepada cinta sebagai salah satu unsur dari etika. Cinta menurutnya ada dua macam; cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah. Cinta kepada sesama manusia ada kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada guru, namun cinta seorang murid kepada guru dipandang lebih mulia dan lebih berperanan. Guru adalah bapak rohani bagi muruid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memliki keutamaan yang sempurna.
e. Pendidikan Akhlak pada Anak-anak
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Maskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidkan anak-anak. Ia menyebutkan bahwa kejiwaan anak-anak merupakan mata rantai antara jiwa binatang dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak berkembang dari tingkat yang sederhana kepada tingkat yang lebih tinggi. Karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.
3. Perihal Kematian
Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela, dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas, adalah rasa takut, terutama takut mati.
Takut mati dapat terjadi karena adanya sebab-sebab sebagai berikut:
• Tidak mengetahui hakikat kematian
• Tidak mengetahui kesudahan jiwa
• Tidak mengetahui kekekalan jiwa
• Mempunyai sangkaan bahwa sakit itu merupakan sakit yang amat berat
• Adanya kebingungan karena tidak tahu apa yang akan dialaminya setelah mati
• Karena adanya rasa berat untuk bercerai dengan yang disenanginya, yaitu keluarga, harta benda, dan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya.
4. Filsafat Politik
Ibnu Maskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Orang-orang dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga keselamatan agama dan mengusahakan terlaksananya perintah-perintah agama dan menjaga agar larangan-larangannya jangan sampai dilanggar. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib) dan tidak berhak disebut raja.
Oleh karena itu Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan adalah pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.





BAB III
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Maskawaih adalah seorang filosof yang besar dalam islam. Tetapi kefilosofannya itu tidak ia raih melalui jalur pendidikan formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak sukses dan sejati.
Walaupun Ibnu Maskawaih terpengaruh dengan pemikiran Yunani, namun Ajaran Islam memiliki pengaruh yang lebih dominan dalam filsafatnya. Filsafat Etika Ibnu Maskawaih merupakan filsafatnya yang paling utama dan terpenting, karena itu wajar kiranya namanya diidentikkan dengan filsafatnya ini.






DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa. H. 1997. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia
Nasution. Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama
Zar. Sirajuddin. 2004. FILSAFAT ISLAM Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : Raja Grafindo Persada

No comments:

Post a Comment

Links

Al-Qur'an Widget by Blogger Tutorial Blog
Designed by Animart Powered by Blogger