Monday 28 March 2011

Kepribadian Guru (Makalah Sosiologi Pendidikan)

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan di sekolah bukan hanya ditentukan oleh usaha murid secara individual atau berkat interaksi murid dan guru dalam belajar mengajar, melainkan juga oleh interaksi murid dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai situasi sosial yang dihadapinya di dalam maupun di luar sekolah.
Selanjutnya anak juga dipengaruhi oleh kepala sekolah dan guru-guru yang masing-masing mempunyai kepribadian sendiri-sendiri yang antara lain terbentuk atas golongan sosial dari mana ia berasal dan orang-orang yang dipilihnya sebagai kelompok pergaulannya.
Kepribadian guru mempengaruhi suasana kelas, kebebasan yang dinikmati anak dalam mengeluarkan buah pikirannya dan mengembangkan kreativitasnya atau pengekangan dan keterbatasan yang dialaminya dalam pengembangan pribadinya. Guru sebagai pendidik dan pembangun generasi baru diharapkan tingkah lakunya bermoral tinggi demi masa depan bangsa dan negara.















BAB II
PEMBAHASAN
“KEPRIBADIAN GURU”
A. Pribadi Guru
Guru merupakan sumber pengetahuan utama bagi murid-muridnya, namun pada umumnya orang tidak memandang guru sebagai orang yang pandai yang mempunyai intelegensi yang tinggi.
Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri itulah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan. Prof. Dr. Zakiah Daradjat (1980) mengatakan bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak (ma’nawi), sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segi dan aspek kehidupan.
Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, selama hal tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.
Kepribadian dapat menentukan apakah guru menjadi pendidik atau pembina yang baik ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didik.
Sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola. Seluruh kehidupannya adalah figur yang paripurna. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal.
B. Perkembangan Pribadi Guru
Kepribadian guru terbentuk atas pengaruh kode kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat dan sifat pekerjaannya. Guru harus menjalankan peranannya menurut kedudukannya dalam berbagai situasi sosial.
Dalam situasi kelas, guru menghadapi sejumlah murid yang harus dipandangnya sebagai anak-anaknya. Sebaliknya murid-murid akan memperlakukannya sebagai bapak dan ibu guru.
Kedudukannya sebagai guru akan membatasi kebebasannya dan dapat pula membatasi pergaulannya. Ia tidak akan melakukan kegiatannya yang kurang layak bagi seorang guru.
C. Ciri-ciri Stereotip Guru
Peranan guru mempengaruhi kelakuannya karena tuntutan dan harapan masyarakat dari guru banyak persamaannya, maka ciri-ciri kepribadian guru juga banyak menunjukkan persamaan. Menurut suatu penelitian pada umumnya terdapat ciri-ciri pada guru, yaitu :
a) Guru tidak memperlihatkan kepribadian yang fleksibel.
b) Guru pandai menahan diri
c) Guru cenderung untuk menjauhkan diri karena hambatan batin untuk bergaul secara intim dengan orang lain.
d) Guru berusaha menjaga diri dan merasa keterikatan kelakuannya pada norma-norma yang berkenaan dengan kedudukannya.
e) Guru cenderung untuk bersikap otoriter dan ingin “menggurui” dalam diskusi.
f) Guru cenderung bersikap konservatif dalam pendiriannya maupun dalam hal-hal lahiriah seperti mengenai pakaian.
g) Guru pada umumnya tidak didorong oleh motivasi yang kuat untuk menjadi seorang guru.
h) Guru pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan.
i) Guru lebih cenderung untuk mengikuti pimpinan daripada memberi pimpinan.
j) Guru dipandang kurang agresif dalam menghadapi berbagai masalah.
k) Guru cenderung untuk memandang guru-guru sebagai kelompok yang berbeda dari golongan pekerja lainnya.
l) Guru menunjukkan kesediaan untuk berbakti dan berjasa.
D. Memilih Jabatan Guru
Dalam penelitian latar belakang sosial mereka yang memilih profesi guru ternyata bahwa kebanyakan berasal dari golongan rendah atau menengah-rendah seperti anak petani, pegawai rendah, walaupun ini tidak berarti bahwa semua anak-anak golongan ini akan memilih jabatan sebagai guru.
Dalam kenyataan dilihat bahwa guru-guru menunjukkan kepribadian tertentu sesuai dengan jabatannya. Kebanyakan guru bekerja dengan penuh dedikasi dengan menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk berbakti kepada pendidikan anak dan masyarakat.
E. Ketegangan dalam Profesi Guru
1. Tiap pekerjaan mengandung aspek-aspek yang dapat menimbulkan ketegangan.
Ketegangan timbul sebagai akibat hambatan untuk mencapai kepuasan yang dicari individu dari kedudukannya. Jabatan guru tidak dapat dikatakan menjadi idaman atau panggilan bagi kebanyakan pemuda. Walaupun tugas itu mulia, akan tetapi tidak selalu memberi kepuasan yang dicari orang dalam jabatannya.
Apa yang diharapkan guru dari jabatannya ?. Antara lain adalah sebagai berikut :
a. Keuntungan ekonomis, imbalan, finansial gaji atau uang.
b. Status, kedudukan yang terhormat dalam masyarakat
c. Otoritas, kewibawaan, kekuasaan atas orang lain.
d. Status profesional
2. Gaji pekerja atau pegawai pada umumnya tidak tinggi dibandingkan dengan gaji orang di negara-negara yang maju.
3. Mengenai status guru di dalam masyarakat
4. Sumber ketegangan lain bagi guru ialah otoritas guru untuk menghukum atau memberi penghargaan kepada murid.
5. Ketegangan juga dapat ditimbulkan oleh persoalan apakah pekerjaan guru dapat diakui sebagai profesi.
6. Sumber ketegangan jiwa terletak dalam pekerjaan guru di dalam kelas.
F. Masalah Kesehatan Fisik dan Mental guru
Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang tenggorok sampai sariawan. Hal ini dikarenakan intensitas mengajar yang tinggi tanpa ditopang dengan asupan vitamin yang memadai, akhirnya yang terjadi system immune ( kekebalan ) menurun dan ia menjadi gampang terserang berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit di atas.
Disamping faktor kesehatan fisik yang terganggu, para guru juga mengalami banyak gangguan mentalnya. Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental itu lebih banyak terdapat di kalangan guru dibandingkan dengan profesi lain. Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau laten, sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui hingga manakah gangguan mental itu merugikan murid dan proses belajar mengajar.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Guru merupakan sumber pengetahuan utama bagi murid-muridnya dan setiap guru mempunyai kepribadian masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis dan kepribadian dapat menentukan apakah guru menjadi pendidik atau pembina yang baik ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didik.
Peranan guru mempengaruhi kelakuannya karena tuntutan dan harapan masyarakat dari guru banyak persamaannya, maka ciri-ciri kepribadian guru juga banyak menunjukkan persamaan.
Seorang guru juga kadangkala mengalami ketegangan dalam profesinya sebagai guru. Di samping itu, seorang guru dapat terganggu fisik maupun mentalnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Djamaah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interksi Edukatif. Jakarta : Rineka Cipta

Nasution, S. 2009. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Saturday 26 March 2011

Masa Kejayaan Pendidikan Islam (Sejarah Pendidikan Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk berbudaya. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia dengan segala potensinya dituntut untuk mampu mengelola alam semesta menjadi alam budaya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan hidup manusia. Tuntutan ini pada akhirnya menjadikan manusia mampu melahirkan kebudayaan yang besar. Untuk mencapai kebudayaan yang maju, suatu bangsa menerima warisan budaya dari generasi lama; membuang kebudayaan lama dan menggantikannya dengan yang baru; atau dengan mentransfer kebudayaan bangsa lain.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pendidikan adalah lembaga yang paling efektif. Pendidikan mempunyai peranan dalam merubah dan memindahkan nilai-nilai kebudayaan pada setiap individu dalam masyarakat dan mengolah kebudayaan tersebut menjadi sikap mental, tingkah laku, bahkan menjadi kepribadian.
Mengkaji sejarah pendidikan Islam pada masa kejayaan merupakan salah satu bentuk hal yang bisa membuat kita termotivasi dalam memajukan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Kita dapat mengetahui tentang kejayaan umat Islam dalam pendidikan sebagai cerminan bahwa umat Islam juga pernah mengalami kejayaan dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan disajikan tentang kontak umat Islam dengan filsafat Yunani sebagai awal perkembangan pendidikan Islam, faktor penyebab kejayaan pendidikan Islam, perkembangan lembaga pendidikan Islam, sistem pendidikan Islam pada masa kejayaan, serta tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam kejayaan pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut.
1. Bagaimana kontak umat Islam dengan filsafat Yunani?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan kemajuan pendidikan Islam?
3. Bagaimana awal perkembangan lembaga pendidikan Islam masa kejayaan?
4. Bagaimana sistem pendidikan Islam pada masa kejayaan?
5. Siapa saja tokoh-tokoh umat Islam yang mempunyai kontribusi besar dalam kemajuan pendidikan Islam?

C. Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi literatur dari buku-buku yang membahas tentang bahasan terkait.

D. Sitematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis ke dalam 3 bagian meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Metode Pemecahan Masalah
D. Sistematika Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Kontak Umat Islam dengan Filsafat Yunani
B. Faktor Penyebab Kejayaan Pendidikan Islam
C. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Masa Kejayaan
D. Sistem Pendidikan Islam Masa Kejayaan
E. Tokoh-tokoh Pendidikan Islam Masa Kejayaan
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN






BAB II
PEMBAHASAN
“MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM”

A. Kontak Umat Islam dengan Filsafat Yunani

Transmisi keilmuan non-Islam yang dilakukan oleh umat Islam pada masa kejayaan sebagian besar berupa pemikiran warisan Yunani. Adapun pemikiran warisan Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab bukan hanya literatur-literatur di masa Yunani kuno, tetapi juga literatur-literatur di masa sesudahnya.

Ketertarikan umat Islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Ketertarikan umat Islam akan warisan Yunani semakin besar setelah terjadi kontak yang makin dekat dengan warisan Yunani. Semenjak al-Manshur naik tahta, umat Islam semakin hari semakin terbawa oleh pengaruh peradaban Yunani.

Keluarga Barmak yang berasal dari Balkh, pusat Ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia, mempunyai pengaruh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Baghdad. Di samping sebagai wazir, mereka juga menjadi pendidik dari anak-anak khalifah. Kehadiran ilmuwan-ilmuwan dan dokter-dokter dari Persia mempertebal rasa ketertarikan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Untuk mentransfer karya-karya Yunani ke dalam Islam, al-Manshur lebih berminat kepada filsafat dan ilmu pengetahuan dan memberikan dukungan besar serta perlindungan bagi kegiatan penerjemahan. Pengoperan budaya warisan Yunani yang telah dirintis al-Manshur dilanjutkan oleh khalifah al-Rasyid. Ketika berkuasa, ia mendirikan sebuah rumah sakit. Pembangunan rumah sakit ini akhirnya mempengaruhi umat Islam untuk belajar ilmu kedokteran.

Ketika al-Makmun berkuasa, ia selangkah lebuh maju dari ayahnya dengan mendirikan Bait al-Hikmah, suatu lembaga dan perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan pada 830 M. Lembaga ini dijadikan sebagai basis pengumpulan manuskrip-manuskrip Yunani dan pusat penerjemahan buku-buku sains dari Yunani.

Hunain bin Ishaq, seorang Kristen Nestorian dari Hirah, telah menerjemahkan karya-karya Yunani untuk Khalifah al-Makmun. Buku-buku yang diterjemahkan oleh Hunain adalah hampir semua karya Galen. Dari karya Aristoteles, Hunain menerjemahkan Categories, Phisics, Magna Moralia, dan Hermeneutics. Dari karya Plato, ia menerjemahkan Republic, Timeus, dan Laws. Dari karya Hippocrates, ia menerjemahkan Aphorisme; dari karya Diascorides ia menerjemahkan Materia Medica.

Selain Baghdad, Mesir juga merupakan pusat kajian keilmuan. Sebelum abad ke-9 M, Ibn Tulun membangun sebuah rumah sakit. Seperti halnya di Baghdad, rumah sakit ini bukan hanya berfungsi sebagai pusat pengobatan, tetapi juga sebagai lembaga pengkajian dan penelitian serta pengembangan ilmu medicine.

Dinasti Fatimiyyah juga memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap pendidikan Islam. Penguasa-penguasa sangat memperhatikan pelaksanaan pendidikan dengan berusaha melengkapi fasilitas kegiatan keilmuan. Mereka berusaha keras untuk mengadakan koleksi manuskrip-manuskrip dan mendirikan perpustakaan yang diberi nama Dar al-‘Ilm. Pada 1005 M, Khalifah al-Hakim mendirikan sebuah lembaga penelitian sekaligus perguruan tinggi yang diberi nama Dar al-Hikmah. Selain itu, al-Hakim juga membangun gedung observatorium di puncak di balik Kairo.

B. Faktor Penyebab Kejayaan Pendidikan Islam

Masa kejayaan pendidikan Islam dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam yang ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah formal serta universitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam. Pendidikan tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk pola kehidupan, budaya dan menghasilkan pembentukan dan perkembangan dalam berbagai aspek budaya kaum muslimin. Masa dulu pendidikan hanya sebagai jawaban terhadap rintangan dan pola budaya yang berkembang dari bangsa yang baru memeluk agama Islam. Tapi sekarang terus merupakan jawaban tiap tantangan kemajuan budaya Islam itu sendiri yang berjalan pesat.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kebudayan, yaitu Faktor Intern dan Faktor Ekstern. Faktor Intern adalah faktor yang dibawa dari ajaran Islam itu sendiri sedangkan Faktor Ekstern adalah faktor yang dibawa dari luar ajaran Islam. Tetapi sebenarnya pengaruh dari luar tersebut, hanyalah berupa sekedar sebagai rangsangan atau tantangan saja, agar potensi pembawaan dari ajaran Islam itu sendiri bisa berkembang. Yang paling menentukan adalah jiwa dan semangat kaum muslimin, terutama para ahlinya dalam penghayatan dan pengamalan ajaran Islam.

C. Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Masa Kejayaan

Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan islam yang bersifat nonformal.
Diantara pendidikan Islam yang bersifat nonformal tersebut adalah

1. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar

Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat belajar menulis. Sebelum datangnya islam kutab telah ada di negeri arab, walaupun belum banyak dikenal, diantara penduduk mekkah yang mula-mula belajar huruf arab ialah Sufyan Ibnu Umayah Ibnu Abdu Syams dan Abu Qhais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhro Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri Hira.
Sewaktu agama Islam diturunkan Allah sudah ada diantara sahabat yang pandai menulis dan membaca. Kemudian tulis baca itu mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang sangat luas dalam kalangan umat Islam. Ayat Al-Quran yang pertama diturunkan telah memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa membaca dan menulis merupakan sarana utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam.

2. Pendidikan rendah di istana

Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu menyiapkan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas pemikiran tersebut Khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-tugas yang akan diembannya nanti.

Pendidikan anak-anak di istana berbeda dangan pendidikan anak-anak di kutab pada umumnya. Di istana para orang tua murid (para pejabat istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya.

Contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh para pembesar istana kepada pendidik anak-anaknya agar dijadikan pedoman sebagai berikut ;
• Berkata Amru Ibnu Utbah kepada pendidik putranya ; “Kerjamu yang pertama untuk memperbaiki putra-putriku ialah memperbaiki dirimu sendiri karena mata mereka selalu tertuju kepadamu”.
• Harun Al-Rasyid telah mengajukan rencana pelajaran bagi putranya (Al-Amin) dengan mengatakan sebagai berikut ; ”Hai Ahmar sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka jadikanlah tanganmu terbuka kepadanya dan ketaatannya kepadamu wajib”.
3. Toko-toko kitab

Pada permulaannya masa Daulah Bani Abasiyah dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab yang telah ditulis dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Dengan demikian toko-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual-beli kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat dan bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah.

4. Rumah-rumah para ulama ahli ilmu pengetahuan

Walaupun sebenarnya rumah bukanlah tempat yang baik untuk tempat memberikan pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Diantara rumah para ulama terkenal yang menjadi tempat memberikan pelajaran adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Yakub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz Billah Al-Fatimy dan lainnya. Dan Ahmad Syalabi mengemukakan bahwa, dipergunakannya rumah-rumah tersebut adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat. Contoh rumah Al-Ghazali berhenti mengajar karena ingin menjalankan kehidupan sufi.

5. Majelis

Dengan majelis atau salon kesusasteraan, dimaksudkan adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah-khalifah untuk membahas dalam berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis ini dimulai pada masa khalifah Al-Rasyidin yang biasa memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu. Pada masa Harun Al-Rasyid (170-193H) majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengatahuan dan juga cerdas sehingga khalifah aktif didalamnya. Disamping itu dunia Islam juga diwarnai dengan perkembangan dan negara aman tenang dan dalam zaman pembangunan.

6. Badi’ah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)

Sejak berkembang kuatnya Islam dan bahasa arab digunakan sebagai bahasa pengantar., maka bahasa arab cenderung kehilangan keasliannya. Disamping itu di badi’ah berdiri ribat-ribat atau zawiyah yang merupakan pusat kegiatan dari ahli sufi . Disanalah para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapi ma’rifat, suatu tingkat ilmu pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya.

7. Rumah sakit

Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikannya rumah sakit oleh khalifah dan para pembesar-pembesar negara. Rumah sakit bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat, tetapi juga menjadi tempat mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan Mereka mengadakan penelitian, percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan.

8. Perpustakaan

Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku digunakan sebagai sumber informasi, berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Disamping itu perkembangan perpustakaan yang bersifat umum yang diselenggarakan oleh pemerintah atau wakaf dari ulama sarjana di Baitul Baghdad yang didirikan oleh khalifah Harun Al-Rasyid adalah merupakan suatu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan berbagai macam ilmu pengetahuan.

9. Masjid

Masjid dalam dunia Islam sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan yang pokok, disamping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan juga sebagai tempat lembaga pendidikan dan tempat berkumpulnya umat muslim.

D. Sistem Pendidikan Islam Masa Kejayaan

Timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah adalah merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid yang sejak awal telah berkembang dan telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran didalamnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah diluar masjid adalah
• Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang didalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu disamping mengganggu orang yang beribadah ke masjid.
• Dengan berkembang luasnya ilmu pengetahuan baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak diperlukannya khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran) yang tidak mungkin keseluruhan tertampung dalam ruang masjid.
Di samping itu ada terdapat faktor-faktor lainnya, yang mendorong bagi para penguasa dan pemegang pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan-bangunan yang terpisah dari masjid. Antara lain adalah :
a. Pada masa bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerintahan Abbasiyah, dan untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk menarik hati kaum muslimin pada umumnya, dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum.
b. Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebut, di samping dengan harapan untuk mendapatkan simpati dari rakyat umumnya, juga berharap mendapat ampunan dan pahala dari Tuhan.
c. Para pembesar pada masa itu dengan kekuasaannya, telah berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan tersebut tidak bisa diwariskan kepada anak-anaknya, karena diambil sultan.
d. Di samping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar Negara yang bersangkutan.
Walau bagaimanapun motivasinya namun jelas bahwa dengan berkembangnya madrasah-madrasah kaum muslimin telah mendapat kesempatan yang luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Adapun sistem pendidikan Islam pada masa kejayaan meliputi :
1. Kurikulum
Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi, kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan Islam pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan cultural, materi kurikulum semakin luas. Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-Quran dan agama, membaca, menulis, dan berenang. Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, kurikulum tingat rendah sedikit berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti al-Quran, syair, dan fiqih. Setelah usai menempuh pendidikan rendah, siswa bebas memilih bidang studi yang ingin ia dalami di tingkat tinggi.
Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti masjid, dengan al-Quran sebagai intinya. Ilmu-ilmu agama harus dikuasai agar dapat memahami dan menjelaskan secara terperinci makna al-Quran yang berfungsi sebagai fokus pengajaran.
2. Metode Pengajaran
Dalam proses belajar mengajar, metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang penting untuk mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para pelajar. Metode pengajaran yang dipakai dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan. Metode lisan bisa berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi. Metode menghafal merupakan ciri umum dalam sistem pendidikan Islam pada masa ini. Untuk dapat menghafal suatu pelajara, murid-murid harus membaca berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak mereka. Sedangkan metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama.
3. Rihlah Ilmiyah
Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa itu adalah sistem Rihlah Ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu.
E. Tokoh-tokoh Pendidikan Islam Masa Kejayaan
Dalam bidang filsafat, tampillah al-Kindi sebagai perintis intelektual Islam. Dia dikenal sebagai failasuf al-‘Arab (filosof bangsa Arab) disamping sebagai filosof Muslim pertama. Dia dikenal sebagai seorang penulis danlam filsafat dan ilmu pengetahuan.
Filsafat menemui momentumnya yang baru, setelah muncul al-Farabi dalam pentas intelektualisme Islam. Dia penerus tradisi intelektual al-Kindi, tetapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir, dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi. Al-Farabi termasyhur namanya dalam bidang logika dan sebagai juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya.
Lebih dari satu abad setelah al-Farabi, muncullah Ibnu Sina. Di tangannya filsafat Islam mencapai puncaknya dan dialah yang terbesar di antara sekalian pemikir yang menuliskan karya filsafatnya dalam bahasa Arab. Ibn Sina adalah penulis Muslim yang luar biasa produktif. Banyak sekali karangannya, tetapi yang paling terkenal adalah al-Syifa’, suatu karya ensiklopedis tentang fisika, metafisika, dan matematika yang terdiri dari 18 jilid.
Akan tetapi, dibandingkan dengan Ibn Rusyd, Ibn Rusyd lebih dikenal di Eropa dari pada semuanya. Di Barat dia dikenal dengan Averroes. Dia seorang yang memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Dibidang kedokteran, kontribusi Ibn Rusyd tidak bisa dianggap kecil. Ia sendiri telah terjun pada profesi dokter. Sumbangannya dalam bidang medis adalah karyanya yang berjudul al-Kulliyat fi al-Tibb, yang memuat pembahasan tentang penyakit cacar dan tentang retina. Tetapi, dia lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Di bidang kedokteran terukir nama al-Razi (865-925 M). Dia dikenal sebagai ahli dokter Muslim terbesar, paling orisinal, dan terbanyak tulisannya. Dia telah mengarang buku tentang penyakit cacar dan campak (al-Judari wa al-Hasbah). Karyanya yang terpenting adalah al-Hawi yang terdiri dari 20 jilid membahas berbagai cabang ilmu kedokteran. Ibn Sina juga menyumbangkan karyanya bagi kebesaran dunia medical Islam.
Di bidang Kimia, sumbangan dan orisinal karya Muslim jauh lebih besar. Jabir Ibn Hayyan terkenal sebagai bapak Kimia. Tokoh lainnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakariyah al-Razi.
Dalam bidang Fisika, Abu Raihan Muhammad al-Baituni (973-1048 M) sebelum Galileo telah mengemukakan teori tentang bumi berputar pada porosnya. Sedangkan di bidang Matematika, Islam memiliki sejumlah ahli matematika. Yang paling terkenal adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M). ia menulis buku-buku mengenai ilmu hitung dan aljabar Hisab al-Jabrwa al-Muqabalah (Kalkulasi Integral dan Persamaan) merupakan karyanya yang tergolong besar. Ahli Matematika terkemuka lainnya adalah Ghiyat al-Din al-Kasyani. Bukunya al-Risalat al-Muhitiyyah merupakan karya besar mengenai ilmu hitung. Ahli matematika lainnya adalah Umar Khayam yang pada karyanya menjelaskan tentang pemecahan geometri dan aljabar, tentang persamaan tingkat kedua, dan klasifikasi persamaan.
Umat Islam juga berhasil mengembangkan astronomi. Di bidang ini muncul sederetan nama ahli astronomi, seperti Ibrahim al-Fazari, Ali bin Isa al-Asturlabi, al-Khawarizmi, Umar Khayyam, al-Zarqali, dan yang lainnya.
Demikian tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam kejayaan pendidikan umat Islam. Bukan hanya kemajuan ilmu-ilmu di atas yang telah dicapai umat Islam, masih banyak lagi kemajuan sains lain yang juga telah dicapai umat Islam.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Kejayaan umat Islam di bidang pendidikan tidak lepas dari pengaruh pemikiran warisan Yunani yang mana pemikiran-pemikiran tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, lalu dipelajari oleh umat Islam. Kontak umat Islam dengan filsafat Yunani sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

Masa kejayaan pendidikan Islam dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam. Ada dua faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor Intern dan faktor Ekstern.

Lembaga pendidikan Islam ada yang bersifat formal dan ada yang bersifat nonformal. Pendidikan Islam yang bersifat formal memiliki sistem antara lain kurikulum, metode pengajaran, dan Rihlah Ilmiyah. Pada masa kejayaan ini terdapat banyak tokoh yang mempunyai kontribusi besar dalam kemajuan pendidikan Islam.

Demikianlah dunia Islam di masa jayanya, yang dihiasi dengan berbagai unsur budaya dan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam dapat diibaratkan sebagai taman yang indah penuh dengan berbagai macam tanaman dengan buah dan bunga yang beraneka warna, dilengkapi dengan berbagai sarana rekreasi yang mengasyikkan.


DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun . 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.

Nasakh dan Tarjih

BAB I
PENDAHULUAN

Syari’ah menurut asal katanya berarti “jalan menuju air”. Secara sederhana dapat ditarik makna bahwa seseorang harus melalui jalan itu untuk dapat hidup, sebab air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menopang kehidupan. Jadi secara analog dapat dikatakan bahwa kehidupan ini membutuhkan syari’ah sebagai unsur yang sangat vital untuk berjalan dengan baik. Secara terminologis, istilah syari’ah Islam memiliki makna yaitu aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, dimana masing-masing mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan satu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Untuk manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk menyampaikan aturan-aturan itu, Allah memilih mengangkat rasul sebagai pesuruh dan utusan-Nya kepada manusia. Setelah rasul diutus dan aturan-aturan itu telah sampai kepada manusia, maka sejak itu pula manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Nasakh
Nasakh menurut bahasa ialah membatalkan atau menghapuskan, bisa juga diartikan menyalin.
Nasakh menurut istilah ialah membatalkan suatu hukum dengan dalil yang akan datang kemudian.
Yang dibatalkan disebut mansukh, sedang yang membatalkan disebut nasikh.
Baik menurut akal maupun riwayat, nasakh dapat terjadi. Pendapat ini sudah disepakati ulama ushul kecuali nasakh terhadap nash-nash (ayat) Qur’an.

Syarat-Syarat Nasakh
Tidak semua syarat disepakati, diantaranya masih ada yang menjadi perselisihan.
a. Syarat-syarat nasakh yang tekah disepakati
1) Nasikh harus terpisah dari mansukh.
2) Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh.
3) Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.
4) Mansukh tidak dibataskan kepada suatu waktu.
5) Mansukh harus hukum-hukum syara’.
Tidak semua nash-nash Qur’an dan hadits dapat dinasakh. Ada nash-nash yang sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama sekali, yaitu :
• Nash-nash yang berisi hukum-hukum pokok, baik yang berhubungan dengan kepercaayaan dan pokok ibadah, atau yang berhubungan dengan pokok-pokok keutamaan, seperti adil kejujuran, dan lain-lain. Atau yang melarang perbuatan-perbuatan yang hina seperti mempersekutukan Tuhan, membunuh, mencuri dan lain-lain.
• Nash-nash yang berisi hukum-hukum yang abadi, seperti firman Tuhan: “jangan kamu terima persaksian mereka selamanya” (QS. An-Nur: 4).
• Nash-nash yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat ataupun yang akan datang seperti peristiwa Musa dengan Fir’aun, akan datangnya kiamat dan lain-lain.

b. Syarat nasakh yang belum disepakati
1) Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
2) Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan.
3) Hukum pengganti lebih berat daripada hukum yang dibatalkan.

Nasakh dapat diketahui dari :
 Penjelasan sesuatu perkataan yang menunjukkan adanya pembatalan (nasakh) seperti ayat 65 Al-Anfal : sekarang Tuhan meringankan kamu sekalian. Ayat ini membatalkan kewajiban seseorang melawan sepuluh orang. Diringankan untuk melawan hanya dua orang kafir.
 Sabda Nabi seperti : “dulu saya melarang kamu menziarahi kuburan, maka (sekarang) ziarahilah”.
 Dari perbuatan Nabi, sebagaimana Nabi merajam Maiz dan tidak menderanya. Perbuatan Nabi menghapuskan sabdanya yang menerangkan dera 100 kali dan rajam.
 Ijma’ sahabat tentang sesuatu, sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Sebenarnya bukan ijma’nya sendiri yang menasakhkan, tetapi dalilnya (dalil ijma’).
 Perlawanan dua dalil yang tidak bisa dikumpulkan. Menurut kaidah ushul : “selama bisa dikumpulkan, tidak boleh ada nasakh.
Nasakh Dalam Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ada ayat Qur’an yang dinasakhkan oleh lainnya. Ada yang berpendapat bahwa di dalam al-Qur’an ada nasikh-mansukh. Golongan lain meniadakan nasikh-mansukh dalam al-Qur’an.
Yang termasuk golongan pertama ialah :
• As Syafi’i
• An Nahhas
• As Sayuti
• As Syaukani
Yang temasuk golongan kedua ialah :
• Abu Muslim Isfahan
• Al Fakhrur Razy
• Muhammad ‘Abduh
• Rasyid Ridha
• Dr. Taufik sidqi



Alasan-alasan golongan pertama :
1)
           
Artinya : “apa-apa yang kami hapuskan dari sesuatu ayat atau Kami lupakan, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sepertinya”. (QS. Al-Baqarah: 106)
2)
   • 
Artinya : “apabila kami gantikan suatu ayat di tempat suatu ayat yang lain sebagai penggantinya”. (QS. An-Nahl: 101)
3) Karena adanya perlawanan antara beberapa ayat dengan ayat yang lain. Contohnya menurut mereka, ialah ayat wasiat dengan ayat waris.
Jumlah ayat-ayat mansukh:
1. Menurut An-Nahhas ada 100 ayat.
2. Sesudah mempersesuaikan ayat-ayat yang nampaknya berlawanan, maka menurut As Sayuti ada 20 ayat.
3. Menurut As Syaukuni ada 8 ayat.
Pembagian ayat-ayat yang mansukh:
1. Yang dibatalkan bacaannya, sedang hukumnya tetap.
2. Yang dibatalkan hukumnya, sedang bacaannya tetap.
3. Yang dibatalkan hukum dan bacaan kedua-duanya.
Alasan golongan kedua (yang meniadakan nasakh)
1. Qur’an sendiri tidak menerawangkan adanya nasakh.
2. Tidak ada hadits yang menjadi nash yang qath’i tentang adanya ayat yang mansukh.
3. Pendapat ulama tidak sama tentang jumlah ayat-ayat yang mansukh.
4. Apabila dikompromikan ayat-ayat Qur’an dapat dikompromikan.yang nampaknya berlawanan, tidak lagi ada nasakh. Sedang semua ayat-ayat Qur’an dapat dikompromikan.
5. Tidak ada hikmahnya nasakh.
Ringkasnya, kita harus percaya bahwa dalam Qur’an tidak ada pembatalan (nasakh). Semua ayat-ayatnya sudah pasti dan tetap (muhkam) yang harus kita amalkan .

2. Tarjih
a. Pengertian Tarjih
Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Menurut istilah, seperti dikemukakan oleh al-Baidawi, ahli ushul fiqih dari kalangan Syafi’iyah, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
Dua dalil yang bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama zhanni.
Sedangkan menurut kalangan Hanafiah, dua dalil yang bertentangan yang akan di-tarjih salah satunya itu bisa sama-sama qath’i, atau sama-sama zhanni. Oleh sebab itu, mereka mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain.
b. Cara Mentarjih
Ali ibn Saif al-Din al-Amidi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih. Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah :
1) Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadits yang lebih sedikit.
2) Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.
3) Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan.
Para ulama ushul telah menerangkan jalan-jalan pentarjihan dalil-dalil itu, dan dari jalan-jalan mentarjihkan salah satu dari qiyas, ialah ‘illat dari qiyas yang pertama dinashkan sendiri oleh syara’ sedang ‘illat yang satu lagi diperoleh dengan jalan istinbath atau ‘illat lain, diistinbathkan dengan jalan munasabah.
Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh para ulama, di antaranya:
• Apabila berlawanan antara yang mengharamkan dan memubahkan, ditarjihkan yang mengharamkan.
• Apabila berlawanan antara yang menghalangi dengan yang menghendaki, didahulukanlah yang menghalangi.
Apabila kita tak dapat mentarjihkan salah satunya, barulah kita tinjau sejarahnya masing-masing. Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan sebab-sebab nuzul ayat dan sebab-sebab wurud hadits.

3. Pembagian Hukum Syara’
a. Pengertian Hukum Syara’
Secara lughawi (etimologis) syari’at berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus diturut. Syari’at juga berarti tempat akan air disungai.
Semula syari’at diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan oleh Allah buat hambaNya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah maupun berhubungan antara mereka sendiri. Dengan pengertian semacam ini, syari’at diartikan ‘agama’ sebagaimana disinggung dalam surat As-Syura ayat 13, penggunaannya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah. Pengkhususan ini dilakukan karena ‘agama’ (samawi) pada prinsipnya adalah satu, berlaku secara universal dan ajaran aqidahnya pun tidak berbeda dari Rasul yang satu dengan yang lainnya, yaitu tauhid, sedangkan syari’at hanya berlaku untuk masing-masing umat sebelumnya. Hukum amaliyah yang menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi dan atau menasakhkan yang datang lebih dahulu.
Syari’at disini adalah segala aturan Allah yang berkaitan dengan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturan-aturan yang berasal dan dibangsakan kepada syari’at tersebut disebut hukum syar’i.
Ahli Ushul Fiqh dan ahli fiqih berbeda pandangan dalam mengartikan hukum syar’i tersebut. Ahli Ushul Fiqh, mendefinisikan hukum syar’i sebagai khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau wadha’ (yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan ahli fiqih, mendefinisikan sebagai efek yang dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah. Dan melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat. Nash dari pembuat syara’ (Allah dan RasulNya) itulah menurut ahli Ushul yang dikatakan hukum syar’i, sedangkan menurut ahli fiqih bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i melainkan efek dari kandungan nash itu sendiri.
Umpamanya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 110:
  
Dirikanlah sholat
Ahli Ushul Fiqh mengatakan bahwa firman (perintah wajib sholat) itulah yang dikatakan hukum syar’i, berbeda dengan ahli fiqih yang mengatakan bahwa wajib sholatlah yang dikatakan hukum syar’i.
b. Pembagian Hukum Syara’
Para ulama ushul membagi hukum syar’i kepada dua bagian, hukum taklifi dan hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian, yaitu ijab, nadb, tahrim, karahah dan ibahah.
Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti.
Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat.
Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
Karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat.
Ibahah adalah firman allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Golongan hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian yaitu tahrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-Quran dan hadits mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni maka dinamakan ijab. Begitu pula larangan, bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, maka disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti diatas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan Al-Ahkam Al-Khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh dan mubah.


a) Wajib
Wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila meninggalkannya.
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat :
1) Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
• Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam sholat.
• Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.
2) Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu ditentukan waktunya, seperti sholat lima waktu dan puasa ramadhan, dan adakalanya tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kifarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah.
Wajib yang ditentukan waktunya terbagi kepada dua:
• Wajib mudhayyaq, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan kewajiban itu sama banyak dengan waktu yang dibuthkan untuk itu.
• Wajib muwassa’, waktu yang tersisa lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut.
3) Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian :
• Wajib ‘Aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya, mengerjakan shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan lain sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
• Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya, menyelenggarakan shalat jenazah.
4) Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua:
• Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat shalat.
• Wajib Ghairu muhaddad,yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, tolong menolong.
b) Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab), dan yang meninggalkannya diberi pahala.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
• Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula, seperti membunuh, berzina, mencuri dll.
• Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual-beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika adzan jum’at sudah berkumandang.
c) Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa. Biasanya, mandub disebut juga sunah atau mustahab, dan terbagi kepada:
• Sunah ‘ain, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunah rawatib.
• Sunah kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin dll.
Menurut Abu Zahrah, hukum mandub terbagi atas beberapa macam berikut ini:
• Sunah muakkadah, yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Ukuran sunah muakkadah adalah bahwa pekerjaan itu tidak pernah ditinggalkan oleh rasulullah kecuali beberapa kali saja dalam rangka menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak diwajibkan. Pekerjaan sunah seperti ini berfungsi sebagai pendahuluan suatu pekerjaan yang wajib.
• Sunah ghair muakkadah, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan. Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah mustahab atau nafilah.
• Sunah zaidah, yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela.
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi kepada beberapa tingkatan:
• Sunnah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya.
• Sunnah ghair muakkadah (sunah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan rasulullah, namun bukan menjadi kebiasannya.
• Sunnah al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasululllah sebagai manusia.

d) Makruh
Makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa. Misalnya, merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap dll.
Pada umumnya para ulama membagi makruh kepada dua bagian:
• Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan.
• Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).
e) Mubah
Mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
Mubah dibagi kepada tiga bagian:
• Perbuatan yang diterapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.
• Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya.
• Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dalam syar’i tentang kebolehan atau tidak kebolehnya. Hal ini dikembalikan kepada hukum barat Al-Ashliyah (bebas menurut asalnya). Segala perbuatan dalam bidang muamalat menurut asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk itu, ulama ushul fiqh membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah mubah”.
Menurut Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat juga membagi mubah kedalam tiga macam:
• Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
• Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
• Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
2. Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenanya, ulama membagi hukum wadh’i ini kepada sebab, syarat, man’i. Namun, sebagian ulama memasukan sah dan batal, azimah dan rukhsah.
a) Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian:
• Sebab yang diluar kemampuan mukalaf.
• Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi lagi menjadi dua:
 Yang termasuk dalam hukum taklifi.
 Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua.
b) Syarat
Syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.
Ulama Ushuliyyin membagi syarat kepada beberapa bagian:
• Syarat hakiki (syar’i), yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah)bila pekerjaan yang pertama belum dilakukan. Misalnya, wudhu menjadi syarat sahnya shalat, dan saksi menjadi syarat sahnya nikah. Syarat hakiki ini dibagi kedalam dua bagian:
 Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya, genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk memenuhi nisab yang menjadi sebab wajib zakat. Adanya dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad perkawinan yang menjadi sebab halalnya “berkumpul” antara seorang laki-laki dan perempuan.
 Syarat untuk menyempurnakan musabbab. Misalnya, bersuci adalah syarat penyempurnaan shalat yang wajib disebabkan telah masuknya waktu shalat.
• Syarat ja’li, yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya, seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang dari seorang penjual dengan syarat boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu diterima si penjual, maka jual-beli tersebut dapat dilakukan.
Syarat Ja’li dapat dibagi menjadi tiga macam:
 Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
 Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud, bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
 Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum.
c) Mani’
Mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Mani’ terbagi menjadi dua macam:
• Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’ (penghalang), hukum pusaka mempusakai, sekalipun sebab untuk mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Najis yang terdapat ditubuh atau dipakaian orang yang sedang shalat. Salah satu syarat sah shalat yaitu suci dari najis (mani’ hukum).
• Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengekuarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat, ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak senisab lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat. Namun, keadaannya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib zakat.
Para ulama dalam madzhab Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam:
1. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka.
2. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat perjanjian.
3. Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjualan yang menghalangi pembeli mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku.
4. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib.




BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang berkaitan dengan nasakh adalah mansukh (sesuatu yang dibatalkan), sedang yang membatalkan disebut nasikh. Baik menurut akal maupun riwayat, nasakh dapat terjadi. Pendapat ini sudah disepakati ulama ushul kecuali nasakh terhadap nash-nash (ayat) Qur’an.
Tidak semua nasakh disepakati para Ulama, akan tetapi ada juga nasakh yang tidak disepakati karena berbagai hal, salah satunya Apabila dikompromikan ayat-ayat Qur’an yang nampaknya berlawanan, tidak lagi ada nasakh. Sedang semua ayat-ayat Qur’an dapat dikompromikan.
Sedangkan tarjih menurut kalangan Syafi’iyah adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
Hukum syara’ menurut istilah para ahli Ushul ialah akibat dari khitab Allah itu pada perbuatan Mukalaf seperti wajib, haram dan mubah. Hukum syara’ ada dua macam yaitu, hukum taklifi dan hukum wadh’i.









DAFTAR PUSTAKA


 Karim, H.A. Syafi’i. 1997. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka setia.
 Hasbi Ash Shiddieqiey,Teungku Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
 Rohayana,Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
 M. Zein, Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
 Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
 Wahab Khallaf,Syekh Abdul. 1995. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Rineka Cipta.
 Husin Al Munawar, Said Agil. 2004. Membangun Metodologi Ushul Fiqh. Jakarta: Ciputat Press.
 Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2006. Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM.

MASHLAHATUL MURSALAH DAN ISTISHHAB

BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini dan lebih-lebih di masa-masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Untuk menyelesaikan segala problematika kehidupan yang begitu kompleks tidak cukup memutuskan suatu hukum hanya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Karena informasi dan hukum yang terkandung dalam keduanya bersifat umum. Oleh karena itu, dalam Ilmu Ushul Fiqh terdapat beberapa metode atau kaidah untuk menggali dan merealisasikan isi yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah untuk menetapkan hukum suatu masalah. Kaidah Ushuliyah tersebut antara lain adalah Mashlahatul Mursalah dan Istishhab.
Mashlahatul Mursalah lebih menekankan pada aspek kemanfaatan suatu hal dalam suatu masalah. Jadi metode ini melihat suatu hal yang akan dijadikan hukum berdasarkan segi kemanfaatan dan kemaslahatan umat. Sedangkan Istishhab adalah metode ijtihad dengan cara menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan. Untuk lebih jelasnya akan dibahas secara mendetail pada pembahasan makalah.

BAB II
PEMBAHASAN I
“MASHLAHAH MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM”

A. Definisi Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Secara etimologi, kata al-mashlahah adalah seperti lafadh al-manfaat, baik artinya maupun wajannya. Dapat juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal dari kata al-mashalih. Pengarang kamus Lisan al-Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadharatan dan penyakit. Semua itu dapat dikatakan mashlahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluknya.
Menurut bahasa kata mursalah berarti lepas. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu mashlahah mursalah. Menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
Dengan demikian, al-mashalah dan al-mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-mashlahah al-mursalah. Tujuan utama al-mashlahah al-mursalah adalah kemashlahatan, yaitu memelihara dari kemdharatan dan menjaga kemanfaatan.
B. Macam-Macam Maslahat
1. Ditinjau dari segi Tingkatannya
a. Mashlahah Daruriyah, yaitu kemashlahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia.
b. Mashlahah Hajiyat, yaitu persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi.
c. Mashlahah Tahsiniyat/ Takmiliyat, yaitu mashlahat yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja.
2. Ditinjau dari segi Eksistensinya
Apabila mashlahat dilihat dari segi eksistensinya, para ulama Ushul Fiqih, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan membaginya kepada tiga macam, yaitu :
a. Al-Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.
b. Al-Mashlahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat.
c. Al-Mashlahah al-Mursalah, dan mashlahat macam inilah yang dimaksud dalam pembahasan, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan diatas.
C. Istilah Lain Mashlahah Mursalah
Menurut para ulama ahli Ushul Fiqih, sebagian ulama menggunakan istilah al-mashlahah al-mursalah itu dengan istilah al-munasib al-mursal. Ada juga yang menggunakan term al-istishlah seperti al-Ghazali, dan adapula yang menggunakan istilah al-Istidlal al-mursal seperti ‘Izzudin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu :
a. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-mashlahah al-mursalah (Mashlahah yang terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk syariat Islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta kemashlahatan. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-Munasib al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus).
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu masalah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini diakui oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses ini disebut Istishla (menggali dan menetapkan suatu masalah).
D. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan Mashlahah Mursalah, yaitu :
a. Mashlahah itu adalah mashlahah hakikat, bukan mashlahah wahamiah.
b. Mashlahah tersebut adalah menyangkut kemashlahatan umum. Bukan kemashlahatan perorangan.
c. Mashlahah tersebut tidak boleh bertentangan bagi kemashlahatan hukum atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau Ijma’.
Menurut Badran, Imam Malik sebagai peletak batu pertama metode mashlahatul mursalah menetapkan tiga syarat untuk memegang mashlahah mursalah, yaitu :
a. Dalam memegang mashlahah mursalah harus meniadakan kesempitan yang lazim yang terjadi pada umat, sehingga hal itu bersifat mendesak untuk masyarakat.
b. Mashlahat tersebut harus rasional (ma’qulah), yang apabila dikemukakan kepada orang-orang berakal maka mereka akan menerimanya
c. Mashlahat tersebut jangan bertentangan dengan salah satu dari al-maqashid al-syari’ah.
Sedangkan al-Ghazali menetapkan tiga syarat, yaitu (1) kemaslahatannya pasti bukan dugaan saja, (2) kemaslahatannya bagi ummat, dan (3) tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan Sunnah.
E. Objek Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam al-Quran maupun Sunnah. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan dalam Ijma’ atau Qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
F. Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa mashlahatul mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah SAW.
Mereka berbeda pendapat dalam bidang Muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan antara lain :
a) Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemashlahatan umat manusia.
b) Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan.
Berbeda dengan itu, kalangan Malikiyah dan Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Diantara alasan-alasan yang mereka ajukan adalah :
a) Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Quran dan Sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu, segala yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, sah dijadikan hukum.
b) Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah maslahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya.
G. Relevansi Mashlahah Mursalah dengan Perkembangan Zaman dan IPTEK
Dewasa ini dan lebih-lebih di masa-masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama.
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau petunjuk syara’ untuk mendudukkan hukum dari kasus yang muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan metode Qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan padanannya di dalam al-Quran dan Sunnah atau Ijma’, sebab jarak waktunya sudah begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan Qiyas yang sulit terpenuhi.
Dalam kondisi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus yang secara rasional dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya, tetapi sulit menemukan dukungan hukumnya dari nash. Dalam upaya mencari solusi agar seluruh tindak-tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, mashlahah mursalah itu dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk mengeliminasi atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak hawa nafsu, maka dalam berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.


BAB III
PEMBAHASAN II
“ISTISHHAB SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM”
A. Definisi Istishhab
Istishhab menurut etimologi berasal dari kata Istishhaba dalam sighat Istif’ala yang bemakna “Istimroru al-Shahabah”. Kalau kata al-Shahabah diartikan dengan sahabat atau teman dan Istimroru diartikan selalu atau terus menerus, maka Istishhab secara lughawi artinya selalu menemani atau menyertai. Atau diartikan dengan pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyah, yaitu Menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya. Sedangkan menurut Asy-Syatibi, Istishhab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Istishhab adalah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa lalu.
B. Macam-macam Istishhab
1. Pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Istishhab terbagi atas tiga macam, yaitu :
a. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah. Secara bahasa, al-bara’ah adalah bersih, maksudnya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Al-ashliyah artinya menurut asalnya, maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Dengan demikian, al-bara’ah al-ashliyah adalah pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.
b. Istishhab al-Shifat. Artinya, mengukuhkan berlakunya suatu sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum atau sampai ditetapkannya hukum yang lama tidak berlaku lagi.
c. Istishhab hukm al-Ijma’. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.
2. Pendapat Muhammad al-Syaukani
Muhammad al-Syaukani membagi Istishhab ke dalam lima macam, yaitu :
a. Istishhab ma dalla al-‘aqlu wa al-syar’u ‘ala tsubutihi wa dawamihi. Artinya, sesuatu yang ditunjukkan oleh akal atau syara’ tentang tetap dan berlakunya suatu hukum sampai ada dalil yang menentukan ketentuan lain dari hukum tersebut.
b. Istishhab al-‘adam al-ashliy. Artinya, tetap memberlakukan keadaan tidak ada ketentuan hukum menurut asalnya. Istishhab ini sama dengan Istishhab al-bara’ah al-ashliyah yang dikemukakan Ibnu Qayyim.
c. Istishhab al-hukm al-‘aqliy. Artinya, selama tidak ada dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum, maka dikembalikan kepada penetapan berdasarkan akal.
d. Istishhab al-dalil ma’a ihtimal al-mu’aridh. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan sebuah dalil disamping ada kemungkinan dalil yang menyalahinya.
e. Istishhab al-hukm al-tsabit bil Ijma’. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan hukum Ijma’.
3. Pendapat Muhammad Abu Zahrah
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam Istishhab, yaitu :
a. Istishhab al-Ibahah al-ashliyah, yaitu Istishhab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah. Istishhab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Prinsip tersebut berdasarkan surat al-Baqarah ayat 29 :
    •   
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu......” (QS. Al-Baqarah : 29)
b. Istishhab al-bara’ah al-ashliyah, yaitu Istishhab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari hutang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c. Istishhab al-hukm yaitu Istishhab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
d. Istishhab al-wasf yaitu Istishhab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
C. Kaidah-kaidah dalam Istishhab
1. Al-ashl baqa’ ma ala ma kana, hattayusbita ma yughyyirah.
الا صل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya , pada dasarnya seluruh hukum yang sudah dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukan hukum itu tidak berlaku lagi.
2. Al-ashl fi al-asyya’a al-ibadah
الاصل فى الاشياء الاباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.
3. Al-yaqin la yuzal bil al-syak.

اليقين لايزال بالشك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan..
4. Al-ashl fi al-dzimmah al-baraah min al-takalif wa al-huquq
الاصل فى الذمة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggungjawab seseorang.
D. Kehujjahan Istishhab
Ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskannya, amtara lain :
1. Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), Istishhab tidak dapat dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
2. Menurut mayoritas Ulama Hanafiyah, Istishhab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
3. Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah, dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.


BAB IV
PENUTUP
Mashalah mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Mashlahah terbagi menjadi dua yaitu ditinjau dari segi tingkatannya dan dari segi eksistensinya. Ada beberapa persyaratan dalam memfungsikan Mashlahah Mursalah, yaitu Mashlahah itu adalah mashlahah hakikat, Mashlahah tersebut adalah menyangkut kemashlahatan umum dan Mashlahah tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash atau Ijma’. Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan Mashalah mursalah jika digunakan untuk menetapkan hukum muamalat.
Istishhab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Istishhab menurut Muhammad Abu Zahrah terbagi dalam empat macam Istishhab, yaitu Istishhab al-Ibahah al-ashliyah, Istishhab al-bara’ah al-ashliyah, Istishhab al-hukm, Istishhab al-wasf. Mengenai kehujjahannya para ulama juga berbeda pendapat dalam hukum penggunaan Istishhab.
















DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Amzah.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1999. Ilmu Usul Fikih. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Rohayana, Ade Dedi .2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : Stain Press.

www.student.umm.ac.id/files

Tuesday 22 March 2011

HADITS DLA’IF KARENA CACAT RAWI

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan nabi dan Rasul yang paling mulia, begitu pula kepada keluarga dan sahabatnya.
Yang saya hormati, bapak Mubarok Lc.M.S.I selaku dosen Ulumul Hadits, serta teman-teman yang saya cintai. Makalah ini adalah makalah ulumul hadits yang didalamnya dibahas tentang hadits dla’if karena terdapat cacat dari perawinya..
Semoga makalah ini dapat menjadikan motivasi kita dalam mempelajari ulumul hadits, serta dapat mengamalkan dari apa yang kita pelajari tidak lain semata-mata karena Allah SWT, saya memohon kepada Allah SWT mudah-mudahan makalah ini bermanfaat, dan semoga Allah SWT menjadikannya sebagai amalan yang ikhlas kepadanya, serta memberkahi setiap kerja keras dan usaha orang-orang yang mengamalkan islam dan menganugrahkan kepada kita ittiba’ul haq (mengikuti kebenaran).


PEMBAHASAN

Dla’if menurut lughah artinya ajiz atau lemah. Hadits dla’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat
Hadits dla’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits setelah hadits shohih dan hadits hasan. Batasannya yang paling tepat adalah:
“Hadits yang kehilangansatu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan ”
Sedangkan hadits dla’if yang disebabkan karena terdapat cacat terhadap perawi ada beberapa macam. Yaitu:
1. Hadits Matruk
2. Hadits Munkar
3. Hadits Mudraj
4. Hadits Maqlub
5. Hadits Mu’allal
6. Hadits Mudltharab
7. Hadits Mushahaf
8. Hadits Muharraf
9. Hadits Mubham
10. Hadits Majhul
11. Hadits Syadz
12. Hadits Mukhtalith
13. Hadits Murakkab

HADITS MATRUK
Hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh pendusta, baik dalam soal hadits maupun dalam lainnya, ataupun tertuduh fasiq, atau banyak lalai dan banyak sangka.
Menurut sebagian ulama’ hadits itu tidak diketahui kecuali hanya melalui jalannya.

HADITS MUNKAR
Para ulama’ Mushthalah berbeda-beda dalam mendefinisikan hadits munkar, sehingga hamper-hampir memberikan pengertian yang kabur bagi orang yang mengkajinya. Namun demikian, batasan hadits munkar yang paling cermat yaitu: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi dla’if yang berlawanan dengan riwayat perawi tsiqah.

HADITS MUDRAJ
Hadits Mudraj yaitu hadits yang disisipkan kedalam matannya sesuatu perkataan orang lain, baik orang itu sahabat maupun tabi’in untuk menerangkan maksud makna.
Sesuatu hadits yang dapat diketahui mana kata-kata yang disisipi kedalamnya dapat dipandang shahih dengan mengeluarkan kata-kata tersebut, tetapi jika tidak lagi dapat dibedakan kata-kata sisipan itu, maka masuklah ia ke dalam golongan dla’if.

HADITS MAQLUB
Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama seseorang atau nasabnya pada sanad. Dengan demikian perawi mendahulukan yang seharusnya diakhirkan, mengakhirkan yang sebenarnya didahulukan, dan meletakkan sesuatu ditempat sesuatu yang lain.
Pembalikan tersebut hanyalah karena lupa, tidak ada unsur kesengajaan, meskipun begitu, hal tersebut mengakibatkan kedla’ifan hadits. Seandainya hal itu dilakukan dengan sengaja bukan karena lupa, maka pada saat itu pembalikan merupakan salah satu bentuk pemalsuan.
Diantara ahli hadis banyak yang sengaja menguji para perawi dengan membalikkan hadits-hadits. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memalsukan hadits, tetapi untuk mengetahui sejauh mana hafalan mereka.
Letak kedla’ifan dalam hadits Maqlub ini terletak pada sedikitnya kekuatan ingatan, karena mendahulukan apa yang semestinya diakhirkan dan mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan serta mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain, lebih dari itu hadits maqlub merusak pemahaman pendengar dan membawanya pada kekeliruan.

HADITS MU’ALLAL
Hadits Mu’allal adalah hadits yang terdapat pdanya cacat yang tersembunyi yang baru diketahui cacat tersebut setelah dilakukan pemeriksaan secara mendalam.
Menemukan illat (cacat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri samara lagi tersembunyi, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadits.
Ibnu Hajar berkata : “Menemukan illat ini termasuk bagian ilmu hadits yang paling samar dan paling rumit. Yang bisa melaksanakannya hanyalah orang-orang yang oleh Allah diberi pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap urutan-urutan perawi, dan kemampuan yang kuat terhadap sanad-sanad dan matan-matan”




HADITS MUDLTHARAB
Hadits Mudltharab yaitu hadits yang banyak periwayatannya. Jumlah riwayatnya yang banyak itu sederajat dan seimbang, tidak mungkin mengunggulkan salah satu dengan cara apapun.
Adakalanya sebuah hadits diriwayatkan dua kali atau lebih oleh seorang perawi atau satu hadits diriwayatkan dua orang perawi atau lebih.

HADITS MUSHAHAF
Hadits Mushahaf adalah hadits yang telah terjadi perubahan huruf sedang rupa tulisannya masih tetap.
Mushahaf ( salah ucap karena perubahan huruf ) merupakan kekeliruan, karena memang dikutip dari kitab (tulisan) bukan dinukil dari mendengar langsung dalam suatu tatap muka.

HADITS MUHARRAF
Hadits Muharraf ialah hadits yang padanya terjadi perubahan syakal/harokat, sedang hurufnya masih tetap.
Seperti halnya hadits Mushahaf, hadits muharraf (salah ucap karena perubahan syakal/harokat) juga merupakan kekeliruan, karena memang dikutip dari kitab (tulisan) bukan dinukil dari mendengar langsung dalam suatu tatap muka.

HADITS MUBHAM
Yang dimaksud Hadits Mubham adalah hadits yang menggunakan / memuat seseorang ( baik seorang laki-laki maupun seorang perempuan) yang tidak jelas namanya, baik pada matan maupun pada sanad.


HADITS MAJHUL
Yang dinamakan hadits Majhul adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tidak dikanal orangnya, atau keadaannya. Tidak dikenal namanya disebut Majhulul ‘ain. Sedang tidak dikenal keadaannya (sifatnya dan sebagainya) disebut majhulul hal.
Majhulul ‘ain ialah satu hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang hanya seorang rawi lain saja yang meriwayatkan daripadanya.
Majhulul hal ialah satu hadits yang dalam sanadnya ada rawi yang dzahirnya adil, tetapi tidak diketahui keadaan yang sebenarnya dan bathinnya.

HADITS SYADZ
Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya berlawanan dengan riwayat orang-orang terpercaya yang lain. Atau dengan kata lain : hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang dapat diterima, berlawanan dengan orang yang lebih utama daripadanya baik karena jumlahnya lebih banyak maupun karena lebih tinggi daya hafalannya.

HADITS MUKHTALITH
Pengertia Mukhtalith yaitu orang yang sudah jelek hafalannya karena disebabkan oleh sesuatu hal, seperti usianya sudah tua buta, sakit, pikun, atau terbakarnya kitab-kitab yang menjadi peganganya..
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yag mukhtalith, apabila diketahui peiwayatannya sebelm terjadinya iktilat, maka hadits tersebut bias dterima. Tetapi jika tidak diketahui ikhtilathnya, maka hadits tersebut dimauqufkan. Sedangkan jika secara jelas diriwayatkannya setelah terjadinya ikhtilath, maka hadits tersebut ditolak.

HADITS MURAKKAB
Hadits yang sanadnya disusun dengan sanad hadits lain atau matannya disusun dengan matan hadits yang lain.



PENUTUP

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan kami sebagai penulis sangat menyadari bahwa penulisan dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran yang membangun dari pembaca guna perbaikan penulisan makalah yang selanjutnya. Tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam pembuatan makalah ini. Kami berharap dalam pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya dan juga kepada pembaca pada umumnya.

KESIMPULAN
Dari uraian-uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu
1. bahwa hadits dla’if menempati urutan ketige dalam pembagian hadits setelah hadits shohih dan hadits hasan.
2. Hadits dla’if yang dikarenakan terdapat cacat dari perawi ada beberapa macam yaitu Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Mudraj, Hadits Maqlub, Hadits Mu’allal, Hadits Mudltharab, Hadits Mushahaf, Hadits Muharrab, Hadits Mubham, Hadits Majhul, Hadits Syadz, Hadits Mukhtalith, dan Hadits Murakkab.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Muhammad. 2009. ILMU USHUL HADIS. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Ashshiddiqy, Sabih. 1999. Sejarah & Pengantar ILMU HADITS. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Faridl, Miftah. 1997. AS-SUNNAH SUMBER HUKUM ISLAM YANG KEDUA. Bandung: PUSTAKA.
Ismail, Syuhudi. 1995. HADITS NABI MENURUT PEMBELA PENGINGKAR DAN PEMALSUNYA. Jakarta: Gema Insani Pers.
Nurrudin. 1997. ‘ulum Al-Hadits 2. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu HADIS.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.



Wallahu A'lam

Monday 21 March 2011

Rukhshah dan ‘Azmah

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, hukum syara’ diturunkan oleh Allah sebagi Rahmat Allah bagi semua hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa kecuali. Oleh karena itu pada asalnya hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukallaf tanpa pengecualian.
Disamping itu, hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya, karena Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam batas kemampuannya.
Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum berbeda tingkatannya. Apa yang mungkin dilakukan orang dalam keadaan biasa (normal) mungkin bagi orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu dirasakannya sangat berat dan berada diluar kemampuannya. Karena itu dalam mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, Allah SWT mengecualikan pihak-pihak tertentu tersebut dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian itu dijelaskan sendiri oleh Allah dalam suatu petunjuk yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, terdapat hukum-hukum yang penerapannya sesuai dengan dalil semula dan hukum-hukum yang penerapannya berbeda dengan dalil semula.
Ditinjau dari segi atau tidaknya dengan dalil semula, hukum itu terbagi menjadi dua, yaitu : pertama ‘azimah dan kedua rukhshah. Keduanya akan dibahas dalam makalah ini












PEMBAHASAN

1. ‘Azimah
a. Pengertian
Secara etimologi., ‘azimah berarti tekad yang kuat. Secara terminologi, Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan Azimah adalah:
“Hukum yang disyariatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”
Atau
“Sesuatu yang disyariatkan pertama kalinya, dan perbuatan azmah ini tidak mempunyai penghalang”
Atau
“Sesuatau hukum yang dtuntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan dengan suatu golongan yang diistimewakan, atau dengan suatu keadaan yang dikecualikan”
Atau
“Hukum yang disyariatkan Allah sejak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”
Atau
“Hukum yang telah disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula”
Atau
“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum”


Atau
“Sesuatu hukum yang dituntut syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan terhadap suatu golongan yang diistimewakan atau suatu keadaan yang dkecualikan”
Atau
“Apa yang disyariatkan Allah, berasal dari hukum-hukum umum yang tidak dikhususkan dngan hal selain dari hal, dan tidak pula mukallaf dengan selain dari mukallaf”
Jadi berarti ‘azimah itu hukum yang ditetapkan oleh Allah semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan kepada setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal mukallaf dipandang mampu melakukannya.
Contoh hukum azimah ini seperti puasa dan haji ditetapkan semenjak semula tentang wajibnya, artinya tidak didahului oleh ketentuan yang mencabutnya. Dan kalau ada yang mencabutnya maka hukum yang terdahulu dinamakan mansukh (dicabut) dan hukum yang baru yang mencabutnya disebut nasikh.
b. Macam-macam
Menurut Jumhur Ulama, yang termasuk azimah adalah kelima hukum taklifi (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah), karena kelima hukum ini disyariatkan bagi umat islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang termasuk azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh, dan mubah saja. Ada pula yang membatasi hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan Haram saja.
Para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa ‘azimah ada empat macam:
1. Hukum yang disyar’atkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seluruhnya
2. Hukum yang disyari’atkan karena adanya sesuatu sebab yang muncul
3. Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal (nasikkh) bagi hukum sebelumnya, sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada
4. Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum.

2. Rukhshah
a. Pengertian
Secara Etimologi, Rukhshah berarti Kemudahan, Kelapangan, dan Kemurahan. Sedangkan kata rukhshah menurut terminologi adalah
“Sesuatu hukum yang diatur syara’ karena ada satu udzur yang berat dan menyukarkan”
Atau
“Hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”
Atau
“Sesuatu yang disyariatkan karena adanya yang meembolehkan untuk berbeda dengan hukum asal (‘azimah)”
Atau
“Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur”
Atau
“Sesuatu hukum yang diatur oleh syara’ karena ada satu ke-udzuran yang berat, yang menyukarkan”

Atau
“Apa yang disyariatkan Allah dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan. Atau apa yang disyariatkan bagi udzur yang sulit dalam hal-hal tertentu. Atau memperbolehkan apa yang dilarang dengan dalil di samping menegakkan dalil larangnan”
Imam al-Baidhawi merumuskannya dengan
“ Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya udzur”
Rumusan ini menunjukkan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku apabila ada dalil yang menunjukkan dan ada udzur yang menyebabkannya. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya kemudian setelah ‘azimah.
Hukum rukhshah mempunyai beberapa sebab yang banyak, diantaranya karena darurat, seperti kelaparan yang dapat menimbulkan kematian, dimana tidak menemukan makanan kecuali bangkai, maka saat itu seseorang boleh memakannya bahkan wajib memakannya. Begitu juga untuk menolak kesempitan dan kesulitan, seperti boleh berbuka puasa Ramadhan bagi yang sedang musafir dan dokter boleh melihat aurat lawan jenis sekedar yang diperlukan untuk pengobatan.
b. Macam-macam
Pada dasarnya rukhshah itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada mukallaf dalam suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukallaf tersebut. Hukum keringanan ini menyalahi hukum asalnya. Macam-macam rukhshah atau keringanan dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Rukhshah dilihat dari segi bentuk asalnya:
a. Rukhshah memperbuat adalah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘Azimah-nya Dalam keadaan darurat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh hukumnya. Umpamanya memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
b. Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘Azimah-nya adalah wajib atau sunah. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukan akan membahayakan terhadap dirinya, maka diperbolehkan baginya untuk meniggalkannya. Misalnya diperbolehkannya meninggalkan puasa ramadhan bagi orang sakit, atau dalam perjalanan.
c. Rukhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum umat Islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Muhammad, Umpamanya membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk bertobat; memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya yang berlaku dalam syariat Nabi Musa.
d. Rukhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Umpamanya jual-beli salam yang menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada ditangan. Bentuk muamalah ini di-rukhshsah-kan karena kalau tidak, akan menyulitkan dalam kehidupan umat manusia.
2. Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan
a. Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat Jumat, Haji, Umrah dalam keadaan udzur
b. Keringanan dalam bentuk mengutrangi kewaijiban, seperti meng-qashar shalat empat rokaat menjadi dua rokaat bagi orang yang dalam perjalanan.
c. Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti mengganti wudlu dengan tayamum karena tidak ada air.
d. Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat Dhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan.
e. Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti membayar zakat fitrah sejak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan.
f. Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut sholat khauf.
g. Keringanan dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.
3. Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal setelah berlaku padanya rukhshah: apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Dalam hal ini ulama’ Hanafiyah membagi rukhshah menjadi dua, yaitu rukhshah Tarfih dan rukhshah Isqath
a. Rukhshah Tarfih adalah rukhshah yang meringankan dari pelaksanaan hukum ‘azimah berkut dalilnya tetap berlaku. Hanya pada waktu itu mukallaf dibolehkan meninggalkan atau mengerjakannya sebagai keringanan baginya. Umpamanya mengucapkan ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum ‘azimah, dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa selama hatinya tetap dalam keimanan. Hal ini terdapat dalam Firman Allah dalam surat an-Nahl (16): 106 . yang Artinya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”
Walaupun ada ayat rukhshah, namun keharaman mengucapkan kalimat yang mengkafrkan itu tetap berlaku; hanya dalam keadaan terpaksa, pelakunya tidak mendapat kemarahan dan azab dari Allah SWT.
b. Rukhshah Isqath yaitu rukhshah yang menggugurkan hukum ’azimah terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. Umpamanya meng-qashar sholat dalam perjalanan berdasarkan Firman Allah dalam surat an-Nisa’:101 yang artinya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Bagi orang yang dalam perjalanan berlaku qashar sholat dan hilanglah atas mereka kewajiban menyempurnakan bilangan sholat yang empat rokaat. Bagi mereka ditetapkan sholat itu sebanyak dua rokaat.

3. Hukum Menggunakan Rukhshah
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ’azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh” , baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang maupun meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan hukum rukhshah bagi orang yang telah memenuuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Dengan demikian, menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi orang yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan rukhshah akan mencelakakan dirnya. Hukum rukhshah ada pula yang sunah seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibadah seperti jual-beli salam.

4. Memilih Antara ‘Azimah dan Rukhshah
Tujuan rukhshah adalah memberikan keringanan dan menolak kesulitan. Kesulitan ini ada dua macam: ada yang tidak dapat dipikul manusia dan ada juga yang mampu dipikul manusia.
Rukhshah yang tidak dapat dipikul manusia umpamanya seseorang yang dalam keadaan kelaparan dan tidak menemukan makanan yang halal, maka dibolehkan memakan makanan yang haram. Kebolehan memakan makanan yang haram karena darurat, dan kalau tidak makan akan mati maka wajib mempergunakan rukhshah dan mennggalkan azmah.
Namun kalau rasa berat yang ditemui dalam melaksanakan ‘azimah dan rasa berat ini dapat datasi umpamanya seseorang berpuasa Ramadhan dalam perjalanan dan merasa sanggup melaksanakan hukum ‘azimahnya, maka dalam hal ini diperbolehkan memilih antara melaksanakan ‘azimah atau menggunakan rukhshah.
Dalam menentukan pilihan yang paling afdhal antara rukhshah dan ‘azimah terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih ‘azimah, sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa yang palng afdhal adalah memilh rukhshah.

5. Hukum Syar’i
a. Pengertian
Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau meniadakan sesuatu dari padanya. Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh ialah:
“Khitaab Allah (atau sabda Nab) yang mengenai segala pekerjaan mukallaf baik titah itu mengandung tuntutan (suruhan, larangan ataupun semata-mata menerangkan kebolehan) atau menjadikan suatu sebab atau syarat, atau penghalang terhadap sesuatu hukum.
b. Pembagian
Hukum itu ada tiga, yaitu:
a. Hukum Taklif
Titah-titah agama yang masuk kedalam bagian taklif itu ada empat macam, yaitu:
1). Ijab, Fardl (Mewajibkan, memfardlukan) yaitu:
Titah yang mengandung suruhan yang harus dikerjakan
2). Nadb (Menganjurkan supaya dikerjakan) yaitu:
Titah yang mengandung suruhan yang tidak harus dituruti, tidak harus ditunaikan
3). Tahrim (Mengharamkan), yaitu:
Titah yang mengandung larangan yang harus dijauhi.
4). Karahah (Membencikan) yaitu:
Titah yang mengandung larangan, tetapi tidak harus menjauhinya
b. Hukum Takhyiri
Hukum takhyiri adalah titah yang memberikan hak memilih.
Atau Ibahah yaitu titah-titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan perbuatan dan kebolehan kita meninggalkan atau tidak mengerjakannya.
c. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah Firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Hukum wadh’i dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Sebab
Secara bahasa, sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara istilah sebab adalah suatu sifat yang dijadikan syari’.
2) Syarat
Syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ tergantung kepadanya.
3) Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.




PENUTUP

Rukhshah dan ‘Azmah sebenarnya masuk kedalam bab hukum taklifi, karena bab ini memndahkan suatu hukum yang dilarang kepada yang dibolehkan atau yang diharuskan kepada yang dibolehkan kita tidak mengerjakannya dalam batas-batas dan tempo-tempo tertentu. Maka azimah sesuatu hukum yang diisyaratkan tanpa ini dan itu, sedangkan rukhshah adalah suatu hukum yang disyariatkan karena suatu sebab yang membolehkan berubahnya hukum asli. Tegasnya azimah merupakan hukum asli, sedangkan rukhshah adalah hukum yang mendatang yang menghalangi hukum asli.





Wallahu A’lam

Links

Al-Qur'an Widget by Blogger Tutorial Blog
Designed by Animart Powered by Blogger